Friday, August 29, 2008

Nuklir untuk Kemanusiaan?

Isu rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah lama mengundang pro dan kontra dari banyak pihak. Ide pembangunan PLTN sebenarnya telah lama dirancang oleh pemerintah bahkan sejak zaman Presiden Soekarno. Pada masa itu telah ada penelitian yang dilakukan untuk membangun PLTN. Namun pada saat harga minyak dunia melonjak naik, banyak negara-negara di dunia tidak terkecuali Indonesia mulai mencari energi lain selain minyak bumi atau batubara untuk memenuhi kebutuhan energi negara mereka. Lantas nuklir menjadi salah satu alternatif yang dicetuskan oleh pemerintah kita. Rupanya energi terbarukan seperti sinar matahari, angin, dan air yang cukup melimpah di Indonesia belum lagi biomassa dan panas bumi dianggap belum mampu menghasilkan energi dalam jumlah besar. Masalah lingkungan pun sekarang harus dihadapi akibat penggunaan batubara.

PLTN dihasilkan dari reaktor nuklir pengayaan uranium. Untuk memproduksi listrik 2.000 MW, misalnya, hanya dibutuhkan uranium dengan berat sekitar 2 kg, dan dalam siklus penggunaan yang panjang, yaitu 1,5 tahun (Khairul Handono, Bisnis Indonesia). Ektremnya 1 gram uranium dipercaya dapat menyalakan televisi yang kira-kira menghabiskan 100 watt selama 7 tahun. Siapa pula yang mau melihat televisi terus-menerus selama 7 tahun?

Jika melihat kesuksesan negara-negara yang menggunakan PLTN untuk memenuhi kebutuhan energinya seperti Amerika, Jepang, Australia, Korea Selatan bahkan Korea Utara nampaknya Indonesia pun ingin mencoba dan mengalami hal yang sama. Tidak hanya Indonesia yang tergiur akan penggunaan uranium ini tapi juga Cina sudah mulai menggiatkan pembangunan PLTN mereka. Karena selain mendapatkan energi, pemanfaatan reaktor nuklir dimanfaatkan untuk mengurangi udara kotor negara mereka. Batu bara ini pula yang telah mengotori udara di Cina. Pantaslah jika 16 dari 20 kota terpopulasi dunia berada di Cina. Negara ini pun mulai melakukan kerjasama dengan Australia dalam pemenuhan kebutuhan uranium.

Australia merupakan negara penghasil uranium terbesar. Tercatat kontribusi negara benua ini dalam produksi uranium sekitar 40% dari total produksi uranium dunia. Dalam bukunya yang berjudul Asia Future Shock, Michael Backman juga meramalkan bahwa Asia akan menjadi rumah bagi setengah reaktor nuklir dunia. Jadi jika nuklir mulai naik daun maka posisi strategis negara-negara dunia Arab yang menguasai minyak bumi akan berpindah kepada negara-negara penghasil uranium yang notabene mayoritas adalah negara-negara Barat. Sebenarnya Indonesia juga memiliki sumber daya ini namun belum secara total digarap. Jangan sampai uranium ini memiliki nasib yang sama dengan emas kita di Papua.

Selain melihat sisi keberhasilan PLTN, kita juga harus menilik lagi apakah nuklir cocok dengan alam Indonesia. PLTN ini rencananya akan dibangun di Pulau Jawa. Sempat tercetus PLTN akan dibangun di Semenanjung Muria dan daerah Lemahabang. Pulau Jawa merupakan pulau dengan populasi terbanyak di Indonesia yang pastinya membutuhkan energi yang lebih besar daripada pulau lainnya. Namun yang menjadi masalah adalah Pulau Jawa rawan dengan bencana alam seperti gempa bumi yang diyakini dapat menyebabkan radiasi. Kita pasti belum lupa peristiwa kebocoran radioaktif reaktor bertenaga nuklir di pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kashiwasaki-Kariwa akibat gempa bumi berkekuatan 6,8 skala richter. Meskipun mungkin di letakkan di daerah yang jauh dari gunung berapi yang masih aktif sekalipun, perlu diingat bahwa Indonesia merupakan tempat bertemunya 3 lempeng dunia yaitu Indoaustralia, Eurasia dan Pasifik yang sanggup menggoncangkan Indonesia saat mereka bertabrakkan. Biaya pun akan lebih banyak jika PLTN dibangun di luar Pulau Jawa karena harus menyalurkan listrik ke Pulau Jawa.

Walaupun pemerintah Indonesia sudah meyakinkan warga negaranya bahkan proyek pembangunan ini aman namun saya pribadi pun masih ragu Indonesia sudah siap dengan PLTN. Penyelewengan masih akan terjadi. Masalah tidak hanya pada penguasaan teknologi namun kita tahu korupsi (mentally disorder) sudah mendarah daging. Seperti ungkapan Georges Pompidou:
Negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa sedangkan politisi adalah negarawan yang menempatkan bangsa dalam pelayanan kepada dirinya”.
Lewat penjelasan tersebut kita bisa memilih apakah wakil rakyat kita “terhormat” merupakan negarawan atau politisi. Penyelewengan yang sering terjadi salah satunya dapat berupa penggelembungan biaya yang dilakukan namun barang yang didapat kualitasnya berada jauh di bawah biaya yang harus dikeluarkan. Pengoperasian PLTN berkaitan langsung dengan nyawa banyak orang. Pemerintah harus ingat itu!

Korea Utara pun menggunakan PLTN untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Penggunaan PLTN di Korut mungkin juga karena didukung oleh pemerintahan yang otoriter dan militeris. Ternyata pengoperasian reaktor nuklir bagi pemenuhan energi negara ini belum sepenuhnya sukses. Power tends to corrupt but absolute power tends to corrupt absolutely. Itulah yang terjadi di Korut. Jika dilakukan pemindaian pada malam hari akan terlihat perbedaan yang cukup besar antara Korsel yang terang benderang dan Korut tergolong yang gelap jika dibandingkan dengan Korsel. Mungkin hanya kota Pyongyang yang sepenuhnya bisa menikmati malam dengan listrik. Rupanya keberadaan PLTN pun belum mampu memenuhi kebutuhan warga Korut akan listrik.

Masih ada kemungkinan ancaman lain yang bisa saja terjadi yaitu ancaman invasi dari negara yang mengaku adikuasa yang berlaku layaknya polisi dunia menyerang sebuah negara karena alasan pengayaan uranium tersebut digunakan untuk keperluan militer. Apakah Indonesia bisa menyakinkan “polisi dunia” tersebut bahwa tujuan pengayaan uranium ini adalah untuk kemanusiaan? Ataukah alasan reaktor nuklir bagi pemenuhan energi negara ini hanyalah sebuah rekayasa untuk menciptakan ladang baru guna mengeruk uang dan memperkaya segelintir orang yang berkuasa?

No comments: